KONSEP DASAR SEBAGAI
WARGA NEGARA
BAB
I
PENDAHULUAN
1.1. Latar belakang
Sebagai suatu kesatuan, warga negara adalah salah
satu ciri suatu negara yang berkedaulatan, cukup dilihat dari warga negaranya
saja kita bisa melihat seberapa maju negara tersebut.
Dalam suatu negara, warga negara harus tahu
bagaimana negara yang dia berada di dalamnya. Sistem pemerintahannya, hukum
yang berkembang dinegara tersebut dan banyak lagi yang patut dia ketahui dalam
menjalani kehidupan sebagai warga negara yang baik.
Warga negara adalah alat kunci keberhasilan suatu
negara dalam mengembangkan sayapnya di kancah Internasional, maka dari itu
pendidikan kewarganegaraan harus diketahui oleh warga negara, supaya dia bisa
mengetahui orang yang bagimana yang diakui oleh negaraa sebagai warga negara,
dan orang yang bagaimana yang tidak diakui oleh negara.
1.2. Masalah
Dalam masalah
“Kewarganegaraan” ini, kami selaku penulis makalah ini akan membatasi
permasalahan pada hal berikut:
1. Bagaimana cara
membuat pembaca tertarik untuk membaca makalah ini?
2. Apakah
kendala-kendala yang akan dihadapi oleh penulis?
3. Bagaimana cara-cara
mengatasi kendala tersebut?
1.3. Tujuan
Sesuai dengan uraian
singkat di atas, karya tulis ini atau makalah ini dibuat dengan tujuan untuk
menambah wawasan dan pengetahuan kepada pembaca maupun penulis, sekaligus untuk
memenuhi permintaan dosen kami Bapak Drs. H. A. Nawawi M, Si sebagai tugas pada
semester pertama ini semoga sesuai dengan harapan beliau, dan harapan kita
semua. Amin yaa Rabbal ‘Alamin.
BAB
II
KEWARGANEGARAAN
A. KONSEP DASAR TENTANG WARGA NEGARA
1. PENGERTIAN WARGA NEGARA
Warga negara diartikan dengan orang-orang sebagai
bagian dari suatu penduduk yang menjadi unsur negara. Istilah ini dahulu biasa
disebut hamba atau kawula negara. Istilah warga negara lebih
sesuai dengan kedudukannya sebagai orang yang merdeka dibandingkan dengan
istilah hamba atau kawula negara, karena warga negara mengandung arti peserta,
anggota atau warag dari suatu negara, yakni peserta dari suatu persekutuan yang
didirikan dengan kekuatan bersama. Untuk itu, setiap warga negara mempunyai
persamaan hak di hadapan hukum. Semua warga negara memiliki kepastian hak,
privasi, dan tanggungjawab.
Sejalan dengan definisi di atas, AS Hikam pun
mendefinisikan bahwa negara yang merupakan terjemahan dari citizenship adalah
anggota dari sebuah komunitas yang membentuk negara itu sendiri. Istilah ini
menurutnya lebih baik ketimbang kawula negara, karena kawula
negara betul-betul berarti objek yang dalam bahasa Inggris (object) berarti
orang yang dimilki dan mengabdi kepada pemiliknya.
Secara singkat, Koerniatmanto S., mendefinisikan
warga negara dengan anggota negara. Sebagai anggota negara, seorang warga
negara mempunyai kedudukan yang khusus terhadap negaranya. Ia mempunyai
hubungan hak dan kewajiban yang bersifat timbale balik terhadap negaranya.
Dalam konteks Indonesia, istilah warga negara
(sesuai dengan UUD 1945 pasal 26) dimaksudkan untuk bangsa Indonesia asli dan
bangsa lain yang disahkan undang-undang sebagai warga negara. Dalam penjelasan
UUD 1945 pasal 26 ini, dinyatakan bahwa orang-orang bangsa lain, misalnya orang
peranakan Belanda, Cina, Arab dan lain-lain yang bertempat tinggal di
Indonesia, mengakui Indonesia sebagai Tanah Airnya dan bersikap setia kepada
Negara Republik Indonesia dapat menjadi warga negara.
Selain itu, sesuai dengan pasal 1 UU No. 22/1958
dinyatakan bahwa warag negara Republik Indonesia adalah orang-orang yang
berdasarkan perundang-undangan dan/atau perjanjian-perjanjian dan/atau
peraturan-peraturan yang berlaku sejak Proklamasi 17 Agustus 1945 sudah menjadi
warga negara Republik Indonesia.
2. ASAS KEWARGANEGARAAN
Sebagaimana dijelaskan bahwa warga negara
merupakan anggota sebuah negara yang mempunyai tanggung jawab dan hubungan
timbale balik terhadap negaranya. Seseorang yang diakui sebgai warga negara
dalam suatu negara haruslah ditentukan berdasarkan ketentuan yang telah
disepakati dalam negara tersebut. Ketentuan itu menjadi asas atau pedoman untuk
menentukan status kewarganegaraan seseorang. Setiap warga negara mempunyai
kebebasan dan kewenangan untuk menentukan asas kewarganegaraan seseorang.
Dalam menerapk an asas kewarganegaraan ini,
dikenal dengan dua pedoman, yaitu asas kewarganegaraan berdasarkan kelahiran
dan asas kewarganegaraan berdasarkan perkawinan. Dari sisi kelahiran, ada dua
asas kewarganegaraan yang sering dijumpai, yaitu ius soli (tempat
kelahiran) dan ius sanguinis (keturunan). Sedangkan dari sisi
perkawinan dikenal pula asas kesatuan hukum dan asas persamaan derajat.
A. DARI SISI KELAHIRAN
Pada umumnya, penentuan kewarganegaraan
berdasarkan pada sisi kelahiran seseorang dikenal dengan dua asas
kewarganegaraan yaitu ius soli dan ius sanguinis. Kedua
istilah tersebut berasal dari bahasa latin. Ius berarti hukum, dalil
atau pedoman, soli berasal dari kata solum yang berarti
negeri, tanah atau daerah dan sanguinis yang berarti darah. Dengan
demikian ius soli berarti pedoman kewarganegaraan yang berdasarkan
tempat atau daerah kelahiran, sedangkan ius sanguinis adalah pedoman
kewarganegaraan berdasarkan daerah atau keturunan.
Sebagai contoh, jika sebuah negara menganut asas
ius soli, maka seseorang yang dilahirkan di negara tersebut, mendapatkan hak
sebagai warga negara. Begitu pula dengan asas ius sanguinis. Jika sebuah negara
menganut asas, maka seseorang yang lahir dari orang tua yang memiliki
kewarganegaraan suatu negara, Indonesia misalnya, maka anak tersebut berhak
mendapatkan status kewarganegaraan orang tuanya, yakni warga negara Indonesia.
Pada awalnya asas kewarganegaraan berdasrkan
kelahiran ini hanya satu, yakni ius soli saja. Hal ini didasarkan pada anggapan
bahwa karena seseorang lahir di suatu wilayah negara, maka otomatis dan logis
ia menjadi warga negara tersebut. Akan tetapi dengajn semakin tingginya tingkat
motibilitas manusia, diperlukan suatu asas lain yang tidak hanya berpatokan
pada tempat kelahiran saja. Selain itu, kebutuhan terhadap asas lain ini juga
berdasarkan realitas empiric bahwa ada orang tua yang memiliki status
kewarganegaraan yang berbeda. Hal ini akan bermasalah jika kemudian orang tua
tersebut melahirkan anak di tempat salah satu orang tuanya. Jika tetap menganut
asas ius soli, maka si anak hanya akan mendapat status kewarganegaraan di
negara ia dilahirkan, atas dasar itulah, maka asas ius sanguinis dimunculkan, sehingga
si anak dapat memiliki status kewarganegaraan kedua orang tuanya.
B. DARI SISI PERKAWINAN
Selain hukum kewarganegaraan dilihat dari sudut
kelahiran, kewarganegaraan seseorang juga dapat dilihat dari sisi perkawinan
yang mencakup asas kesatuan hukum dan asas persamaan derajat. Asas
kesatuan hukum berdasarkan pada paradigm bahwa suami-isteri ataupun ikatan
keluarga merupakan inti masyarakat yang
meniscayakan suasana sejahtera, sehat dan tidak terpecah. Dalam
menyelenggarakan kehidupan bermasyaratnya, suami-isteri ataupun keluarga yang
baik perlu mencerminkan adanya suatu kesatuan yang bulat.
Untuk merealisasikan terciptanya kesatuan dalam
keluarga atau suami-isteri, maka semuanya harus tunduk pada hukum yang sama.
Dengan adanya kesamaan pemahaman dan komitmen menjalankan kebersamaan atas
dasar hukum yang sama tersebut, sehingga masing-masing tidak terdapat perbedaan
yang dapat mengganggu keutuhan dan kesejahteraaan keluarga.
Sedangkan dalam asas persamaan derajat ditentukan
bahwa suatu perkawinan tidak menyebabkan perubahan status kewarganegaraan.
Masing-masing pihak. Baik suami ataupun isteri tetap berkewarganegaraan asal,
atau denga kata lain sekalipun sudah menjadi suami-isteri, mereka tetap
memiliki status kewarganegaraan sendiri, sama halnya ketika mereka belum
diikatkan menjadi suami-isteri.
Asas ini dapat menghindari terjadinya
penyelundupan hukum. Misalnya, seseorang yang berkewarganegaraan asing ingin
memperoleh status yang berkewarganegaraan asing ingin memperoleh status
kewarganegaraan suatu negara dengan cara atau berpura-pura melakukan pernikahan
dengan perempuan negara tersebut. Setelah melalui perkawinan dan orang tersebut
memperoleh kewarganegaraan yang diinginkan.
B. UNSUR-UNSUR YANG MENENTUKAN
KEWARGANEGARAAN
1. UNSUR DARAH KETURUNAN (IUS
SANGUINIS)
Kewarganegaraan dari orang tua yang menurunkannya
menentukan kewarganegaraan seseorang, artinya kalau orang dilahirkan dari orang
tua yang berkewarganegaraan Indonesia, ia dengan sendirinya juga warga negara
Indonesia. Prinsip ini berlaku di antaranya di Iggris, Amerika, Perancis,
Jepang, dan juga Indonesia.
2. UNSUR DAERAH TEMPAT KELAHIRAN (IUS
SOLI)
Daerah tempat kelahiran seseorang dilahirkan
menentukan kewarganegaraan. Misalnya, kalau orang dilahirkan di dalam daerah
hukum Indonesia, ia dengan sendirinya menjadi warga Indonesia. Prinsip ini
berlaku di antaranya di Amerika, Inggris, Perancis, dan Indonesia.
3. UNSUR PEWARGANEGARAAN (NATURALISASI)
Walaupun tidak dapat memenuhi prinsip ius
sanguinis ataupun ius soli, orang dapat juga memperoleh kewarganegaraan dengan
jalan pewarganegaraaan atau naturalisasi. Syarat-syarat dan prosedur
pewarganegaraan ini di berbagai negara sedikit-banyak dapat berlainan, menurut
kebutuhan yang dibawakan oleh kondisi dan situasi negara masing-masing.
Dalam pewarganegaraan ini ada yang aktif ada pula
yang pasif. Dalam pewarganegaraan aktif, seseorang dapat menggunakan hak
opsi untuk memilih atau mengajukan kehendak menjadi warga negara dari
suatu negara. Sedangkan dalam pewarganegaraan pasif, seseoarang yang tidak mau
diwarganegarkan oleh suatu negara atau tidak mau diberi atau dijadikan warga
negara suatu negara, maka yang bersangkutan dapat menggunakan hak repudiasi,
yaitu hak untuk menolak pemberian kewarganegaraan tersebut (kartasapoetra.
1993: 216-7)
C. PROBLEM STATUS KEWARGANEGARAAN
Membicarakan status kewarganegaraan seseorang
dalam negara, maka akan dibahas beberapa persoalan yang berkenaan dengan
seseorang yang dinyatakan sebagai warga negara dan bukan warga negara dalam
suatu negara. Jika diamati dan dianalisisis, di antara penduduk sebuah negara,
ada diantara mereka yang bukan warga negara(orang asing) di negara tersebut.
Dalam hal ini, dikenal dengan apatride, bipatride, dan multipetride.
Apatride merupakan istilah untuk
orang-orang yang tidak mempunyai status kewarganegaraan. Sedangkan bipatride
merupakan istilah yang digunakan untuk orang-orang yang memilki status
kewarganegaraan rangkap atau dengan istilah lain dikenal dengan dwi-
kewarganegaraan.
Sementara
yang dimaksud dengan multipatride adalah istilah yang digunakan untuk
menyebutkan status kewarganegaraan seseorang yang memiliki dua atau lebih
status kewarganegaraan.
Kasus orang-orang yang tidak memiliki status
kewarganegaraan, merupakan sesuatu yang akan mempersulit orang tersebut dalam
konteks menjadi penduduk pada suatu negara. Mereka akan dianggap sebagai orang
asing, yang tentunya akan berlaku ketentuan-ketentuan peraturan atau
perundang-undangan bagi orang asing, yang selain segala sesuatu kegiatannya
akan terbatasi, juga setiap tahunnya diharuskan membayar sejumlah uang
pendaftaran sebagai orang asing.
Status kewarganegaraan dengan kelompok bipatride,
dalam realitas empiriknya, merupakan kelompok status hukum yang tidak
baik, karena dapat mengacaukan keadaan kependudukan di antara dua negara, karena
itulah tiap negara dalam menghadapi masalah bipatride dengan tegas
mengharuskan orang-orang yang terlibat untuk secara tegas memilih salah satu di
antara kedua kewarganegaraannya.
Kondisi sesoran dengan status berdwikewarganegaraan,
sering terjadi pada penduduk yang tinggal di daerah perbatasan antaradua
negara. Dalam hal ini, diperlukan peraturan yang pasti tentang perbatasan serta
wilayah territorial, sehingga penduduk di daerah itu dapat meyakinkan dirinya
termasuk ke dalam kewarganegaraan mana di antara dua negara tersebut.
D. KARATERISTIK WARGA NEGARA YANG
DEMOKRAT
1. RASA HORMAT DAN TANGGUNG JAWAB
Sebgai warga negara yang demokratis, hendaknya
memiliki rasa hormat terhadap sesama warga negara terutama dalam konteks adanya
pluralitas masyarakat Indonesia yang terdiri dari berbagai etnis, suku, ras,
keyakinan, agama, dan ideologi politik. Selain itu, sebgai warga negara yang
democrat, seorang warga negara juga di tuntut untuk turut bertanggung jawab
menjaga keharmonisan hubungan antar etnis serta keteraturan dan ketertiban
negara yang berdiri di atas pluralitas tersebut.
2. BERSIKAP KRITIS
Warga negara yang demokrat hendaknya selalu
bersikap kritis, baik terhadap kenyataan empiris(realitas social, budaya, dan
politik) maupun terhadap kenyataan supra-empiris (agama, mitologi,
kepercayaan). Sikap kritis juga harus ditujukan pada diri sendiri. Sikap kritis
pada diri sendiri itu tentu disertai sikap kritis terhadap pendapat yang
berbeda. Tentu saja sikap kritis ini harus didukung oleh sikap yang bertanggung
jawab terhadap apa yang dikritisi.
3. MEMBUKA DISKUSI DAN DIALOG
Perbedaan pendapat dan pandangan serta perilaku
merupakan realitas empirik yang pasti terjadi di tengah komunitas warga negara,
apalagi di tengah komunitas masyarakat yang plural dan multi etnik. Untuk
meminimalisasi konflik yang ditimbulkan dari perbedaan tersebut, maka membuka
ruang untuk berdiskusi dan berdialog merupakan salah satu solusi yang bisa
digunakan. Oleh karenanya, sikap membuka diri untuk dialog dan diskusi
merupakan salah satu ciri sikap warga negara yang demokrat.
4. BERSIKAP TERBUKA
Sikap
terbuka merupakan bentuk penghargaan terhadap kebebasan sesama manusia,
termasuk rasa menghargai terhadap hal-hal yang tidak biasa atau baru serta pada
hal-hal yang mungkin asing. Sikap terbuka yang didasarkan atas kesadaran akan
pluralisme dan keterbatasan diri akan melahirkan kemampuan untuk menahan diri
dan tidak secepatnya menjatuhkan penilaian dan pilihan.
5. RASIONAL
Bagi
Negara yang demokrat, memiliki kemampuan untuk mengambil keputusan secara bebas
dan rasional adalah sesuatu yang yang harus dilakukan.
Keputusan-keputusan yang diambil secara rasional
akan mengantarkan sikap yang logis yang ditampilkan oleh warga negara
sementara. Sikap dan keputusan yang diambil secara tidak rasional akan membawa
implikasi emosional dan cenderung egois.
6. ADIL
Sebagai
negara yang demokrat, tidak ada tujuan baik yang patut diwujudkan dengan
cara-cara yang tidak adil. Penggunaan cara-cara yang tidak adil adalah bentuk pelanggaran
hak asasi dari orang yang diperlakukan tidak adil. Dengan semangat keadilan,
maka tujuan-tujuan bersama bukanlah suatu yang didiktekan tetapi ditawarkan.
7. JUJUR
Memiliki
sikap dan sifat yang jujur bagi warga negara merupakan sesuatu yang niscaya.
Kejujuran merupakan kunci bagi terciptanya keselarasan dan keharmonisan
hubungan antar warga negara. Sikap jujur biasa diterapkan di segala sektor,
baik politik, sosial dan sebagainya.
Kejujuran
politik adalah bahwa kesejahteraan warga negara merupakan tujuan yang ingin di
capai, yaitu kesejahteraan dari masyarakat yang memilih para politisi. Ketidak
jujuran politik adalah seorang poliotisi mencari keuntungan bagi dirinya
sendiri atau mencari keuntungan bagi partainya. Karena partai itu penting bagi
kedudukannya.
Beberapa
karakteristik warga negara yang demokrat tersebut, merupakan sikap dan sifat
yang seharusnya melekat pada seorang warga negara. Sebagai warga negarayang
otonom, ia mempunyai karesteritik lanjutan sebagai berikut:
1.
Memiliki kemandirian.
2.
Memiliki tanggung jawab.
3. Menghargai
martabat manusia dan keharmonisan pribadi.
4. Berpartisipasi
dalam urusan kemasyarakatan dengan pikiran sikap yang santun
5. Mendorong
berfungsinya demokrat konstitusional yang sehat. Warga negara yang otonom harus
melakukan tiga hal untuk mewujudkan demokrasi konstitusional yaitu :
a. Menciptakan
kultur taat hukum yang sehat dan aktif (culture of law).
b. ikut
mendorong proses pembuatan hukum yang aspiratif (process of law making)
c. mendukung
pembuatan materi-materi hukum yang renponsif (content of law)
d. Ikut
menciptakan aparat penegak hokum yang jujur dan bertanggung jawab (structure
of law)
E. Cara
dan Bukti Memperoleh Kewarganegaraan Indonesia
Pada
umumnya ada dua kelompok warga negara dalam suatu negara, yakni warga negara
yang memperoleh status kewarganegaraannya melalui stelsel pasif atau
dikenal juga dengan warga negara by operation of law dan warga negara
yang memperoleh status kewarganegaraannya melalui stelsel aktif dikenal
dengan by registration.
Dalam
penjelasan umum Undang-undang No.62/1958 bahwa ada tujuh cara memperoleh
kewarganegaraan Indonesia, yaitu (1) karena kelahiran. (2) karena pengangkatan.
(3) karena dikabulkannya permohonan. (4) karena pewarganegaraan. (5) karena
perkawinan. (6) karena turut ayah dan ibu serta (7) karena pernyataan.
Untuk
memperoleh status kewarganegaraan Indonesia, diperlukan bukti-bukti sebagai
berikut (berdasarkan Undang-undang No.62/1958:
- Surat bukti kewarganegaraan untuk mereka yang memperoleh
kewarganegaraan Indonesia karena kelahiran adalah dengan Akta Kelahiran.
- Surat bukti kewarganegaraan untuk mereka yang memperoleh kewarganegaraan
Indonesia karena pengangkatan adalah
Kutipan Pernyataan Sah Buku Catatan Pengangkatan Anak Asing dari
peraturan pemerintah No.67/1958, sesuai dengan Surat Edaran Menteri
Kehakiman No. JB.3/2/25. Butir 6. Tanggal 5 Januari 1959.
- Surat bukti kewarganegaraan untuk mereka yang memperoleh
kewarganegaraan Indonesia karena dikabulkannya permohonan adalah Petikan Keputusan Presiden tentang
permohonan tersebut (tanpa pengucapan sumpah dan janji setia).
- Surat bukti kewarganegaraan untuk mereka yang memperoleh
kewarganegaraan Indonesia karena pewarga-negaraan adalah Petikan Keputusan Presiden.
- Surat bukti kewarganegaraan untuk mereka yang memperoleh
kewarganegaraan Indonesia karena pernyataan adalah sebagaimana diatur
dalam surat edaran menteri kehakiman No. JB.3/166/22, tanggal 30 September
1958 tentang memperoleh kehilangan kewarganegaraan Repoblik Indonesia
dengan pernyataan.
F. HAK DAN KEWAJIBAN WARGA NEGARA
Pengertian warga negara
secara umum dinyatakan bahwa warga negara merupakan anggota negara yang
mempunyai kedudukan khusus terhadap negaranya. Ia mempunyai hubungan hak dan
kewajiban yang bersifat timbal balik terhadap negaranya. Berdasarkan pada
pengertian tersebut, maka adanya hak dan kewajiban warga negara terhadap
negaranya merupakan sesuatu yang niscaya ada.
Dalam konteks Indonesia,
hak warga negara terhadap negaranya telah diatur dalam Undang-undang Dasar 1945
dan berbagai peraturan lainnya. Di antara hak-hak warga negara yang dijamin
dalam UUD adalah Hak Asasi Manusia yangrumusan lengkapnya tertuang dalam pasal
28 UUD Perubahan Kedua.
Sedangkan contoh
kewajiban yang melekat bagi setiap warga negara antara lain kewajiban membayar
pajak sebagai kontrak utama antara negara dan warga, membela tanah air (pasal
27). Membela pertahanan dan keamanan (pasal 29). Menghormati hak asasi orang
lain dan mematuhi perbatasan yang terutangg dalam peraturan (pasal 28), dan
berbagai kewajiban lainnya dalam Undang-undang.
BAB
III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Warga negara diartikan dengan orang-orang sebagai
bagian dari suatu penduduk yang menjadi unsur negara. Dalam menerapkan asas
kewarganegaraan, dikenal dengan dua pedoman, yaitu asas kewarganegaraan
berdasarkan kelahiran dan asas kewarganegaraan berdasarkan perkawinan. Dari
sisi kelahiran, ada dua asas kewarganegaraan yang sering dijumpai, yaitu ius
soli (tempat kelahiran) dan ius sanguinis (keturunan). Sedangkan
dari sisi perkawinan dikenal pula asas kesatuan hukum dan asas persamaan
derajat.
Unsur- unsur
yang menentukan kewarganegaraan:
1.
Unsur darah keturunan (Ius Sanguinis);
2.
Unsur daerah tempat kelahiran (Ius Soli);
3.
Unsur pewarganegaraan (Naturaalisasi).
Karateristik
warga negara yang demokrat:
1.
Rasa hormat dan tanggung jawab;
2.
Bersikap kritis;
3.
Membuka diskusi dan dialog;
4.
Bersikap terbuka;
5.
Rasional;
6.
Adil;
7.
Jujur.
B. SARAN
Sebagai warga negara yang baik kita harus mencintai dan menjaga kesatuan
negara kita agar negara yang sangat kita cintai ini menjadi negara yang makmur
dan sentosa seperti cita-cita dan tujuan bangsa kita yang tercantum dalam
pembukaan UUD 1945.
DAFTAR RUJUKAN
Azed, Abdul Bari,
Intisari Kuliah Masalah Kewarganegaraan, Jakarta:
Ind-Hill. Co., 1996, Cet. Ke-1.
Budiarjo, Miriam,
Dasar-dasar Ilmu Politik, Jakarta: Gramedia
Pustaka Media, 1987.
Khairon, dkk,
Pendidikan Politik Bagi Warganegara, Yogyakarta:
LKIS, 1999.