Translate

Kamis, 03 Juli 2014

KONSEP DASAR SEBAGAI WARGA NEGARA



KONSEP DASAR SEBAGAI WARGA NEGARA

BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar belakang
Sebagai suatu kesatuan, warga negara adalah salah satu ciri suatu negara yang berkedaulatan, cukup dilihat dari warga negaranya saja kita bisa melihat seberapa maju negara tersebut.
Dalam suatu negara, warga negara harus tahu bagaimana negara yang dia berada di dalamnya. Sistem pemerintahannya, hukum yang berkembang dinegara tersebut dan banyak lagi yang patut dia ketahui dalam menjalani kehidupan sebagai warga negara yang baik.
Warga negara adalah alat kunci keberhasilan suatu negara dalam mengembangkan sayapnya di kancah Internasional, maka dari itu pendidikan kewarganegaraan harus diketahui oleh warga negara, supaya dia bisa mengetahui orang yang bagimana yang diakui oleh negaraa sebagai warga negara, dan orang yang bagaimana yang tidak diakui oleh negara.
1.2. Masalah
Dalam masalah “Kewarganegaraan” ini, kami selaku penulis makalah ini akan membatasi permasalahan pada hal berikut:
1. Bagaimana cara membuat pembaca tertarik untuk membaca makalah ini?
2. Apakah kendala-kendala yang akan dihadapi oleh penulis?
3. Bagaimana cara-cara mengatasi kendala tersebut?
1.3. Tujuan
Sesuai dengan uraian singkat di atas, karya tulis ini atau makalah ini dibuat dengan tujuan untuk menambah wawasan dan pengetahuan kepada pembaca maupun penulis, sekaligus untuk memenuhi permintaan dosen kami Bapak Drs. H. A. Nawawi M, Si sebagai tugas pada semester pertama ini semoga sesuai dengan harapan beliau, dan harapan kita semua. Amin yaa Rabbal ‘Alamin.
BAB II
KEWARGANEGARAAN
A. KONSEP DASAR TENTANG WARGA NEGARA
1. PENGERTIAN WARGA NEGARA
Warga negara diartikan dengan orang-orang sebagai bagian dari suatu penduduk yang menjadi unsur negara. Istilah ini dahulu biasa disebut hamba atau kawula negara. Istilah warga negara lebih sesuai dengan kedudukannya sebagai orang yang merdeka dibandingkan dengan istilah hamba atau kawula negara, karena warga negara mengandung arti peserta, anggota atau warag dari suatu negara, yakni peserta dari suatu persekutuan yang didirikan dengan kekuatan bersama. Untuk itu, setiap warga negara mempunyai persamaan hak di hadapan hukum. Semua warga negara memiliki kepastian hak, privasi, dan tanggungjawab.
Sejalan dengan definisi di atas, AS Hikam pun mendefinisikan bahwa negara yang merupakan terjemahan dari citizenship adalah anggota dari sebuah komunitas yang membentuk negara itu sendiri. Istilah ini menurutnya lebih baik ketimbang kawula negara, karena kawula negara betul-betul berarti objek yang dalam bahasa Inggris (object) berarti orang yang dimilki dan mengabdi kepada pemiliknya.
Secara singkat, Koerniatmanto S., mendefinisikan warga negara dengan anggota negara. Sebagai anggota negara, seorang warga negara mempunyai kedudukan yang khusus terhadap negaranya. Ia mempunyai hubungan hak dan kewajiban yang bersifat timbale balik terhadap negaranya.
Dalam konteks Indonesia, istilah warga negara (sesuai dengan UUD 1945 pasal 26) dimaksudkan untuk bangsa Indonesia asli dan bangsa lain yang disahkan undang-undang sebagai warga negara. Dalam penjelasan UUD 1945 pasal 26 ini, dinyatakan bahwa orang-orang bangsa lain, misalnya orang peranakan Belanda, Cina, Arab dan lain-lain yang bertempat tinggal di Indonesia, mengakui Indonesia sebagai Tanah Airnya dan bersikap setia kepada Negara Republik Indonesia dapat menjadi warga negara.
Selain itu, sesuai dengan pasal 1 UU No. 22/1958 dinyatakan bahwa warag negara Republik Indonesia adalah orang-orang yang berdasarkan perundang-undangan dan/atau perjanjian-perjanjian dan/atau peraturan-peraturan yang berlaku sejak Proklamasi 17 Agustus 1945 sudah menjadi warga negara Republik Indonesia.
2. ASAS KEWARGANEGARAAN
Sebagaimana dijelaskan bahwa warga negara merupakan anggota sebuah negara yang mempunyai tanggung jawab dan hubungan timbale balik terhadap negaranya. Seseorang yang diakui sebgai warga negara dalam suatu negara haruslah ditentukan berdasarkan ketentuan yang telah disepakati dalam negara tersebut. Ketentuan itu menjadi asas atau pedoman untuk menentukan status kewarganegaraan seseorang. Setiap warga negara mempunyai kebebasan dan kewenangan untuk menentukan asas kewarganegaraan seseorang.
Dalam menerapk an asas kewarganegaraan ini, dikenal dengan dua pedoman, yaitu asas kewarganegaraan berdasarkan kelahiran dan asas kewarganegaraan berdasarkan perkawinan. Dari sisi kelahiran, ada dua asas kewarganegaraan yang sering dijumpai, yaitu ius soli (tempat kelahiran) dan ius sanguinis (keturunan). Sedangkan dari sisi perkawinan dikenal pula asas kesatuan hukum dan asas persamaan derajat.
A. DARI SISI KELAHIRAN
Pada umumnya, penentuan kewarganegaraan berdasarkan pada sisi kelahiran seseorang dikenal dengan dua asas kewarganegaraan yaitu ius soli dan ius sanguinis. Kedua istilah tersebut berasal dari bahasa latin. Ius berarti hukum, dalil atau pedoman, soli berasal dari kata solum yang berarti negeri, tanah atau daerah dan sanguinis yang berarti darah. Dengan demikian ius soli berarti pedoman kewarganegaraan yang berdasarkan tempat atau daerah kelahiran, sedangkan ius sanguinis adalah pedoman kewarganegaraan berdasarkan daerah atau keturunan.
Sebagai contoh, jika sebuah negara menganut asas ius soli, maka seseorang yang dilahirkan di negara tersebut, mendapatkan hak sebagai warga negara. Begitu pula dengan asas ius sanguinis. Jika sebuah negara menganut asas, maka seseorang yang lahir dari orang tua yang memiliki kewarganegaraan suatu negara, Indonesia misalnya, maka anak tersebut berhak mendapatkan status kewarganegaraan orang tuanya, yakni warga negara Indonesia.
Pada awalnya asas kewarganegaraan berdasrkan kelahiran ini hanya satu, yakni ius soli saja. Hal ini didasarkan pada anggapan bahwa karena seseorang lahir di suatu wilayah negara, maka otomatis dan logis ia menjadi warga negara tersebut. Akan tetapi dengajn semakin tingginya tingkat motibilitas manusia, diperlukan suatu asas lain yang tidak hanya berpatokan pada tempat kelahiran saja. Selain itu, kebutuhan terhadap asas lain ini juga berdasarkan realitas empiric bahwa ada orang tua yang memiliki status kewarganegaraan yang berbeda. Hal ini akan bermasalah jika kemudian orang tua tersebut melahirkan anak di tempat salah satu orang tuanya. Jika tetap menganut asas ius soli, maka si anak hanya akan mendapat status kewarganegaraan di negara ia dilahirkan, atas dasar itulah, maka asas ius sanguinis dimunculkan, sehingga si anak dapat memiliki status kewarganegaraan kedua orang tuanya.
B. DARI SISI PERKAWINAN
Selain hukum kewarganegaraan dilihat dari sudut kelahiran, kewarganegaraan seseorang juga dapat dilihat dari sisi perkawinan yang mencakup asas kesatuan hukum dan asas persamaan derajat. Asas kesatuan hukum berdasarkan pada paradigm bahwa suami-isteri ataupun ikatan
keluarga merupakan inti masyarakat yang meniscayakan suasana sejahtera, sehat dan tidak terpecah. Dalam menyelenggarakan kehidupan bermasyaratnya, suami-isteri ataupun keluarga yang baik perlu mencerminkan adanya suatu kesatuan yang bulat.
Untuk merealisasikan terciptanya kesatuan dalam keluarga atau suami-isteri, maka semuanya harus tunduk pada hukum yang sama. Dengan adanya kesamaan pemahaman dan komitmen menjalankan kebersamaan atas dasar hukum yang sama tersebut, sehingga masing-masing tidak terdapat perbedaan yang dapat mengganggu keutuhan dan kesejahteraaan keluarga.
Sedangkan dalam asas persamaan derajat ditentukan bahwa suatu perkawinan tidak menyebabkan perubahan status kewarganegaraan. Masing-masing pihak. Baik suami ataupun isteri tetap berkewarganegaraan asal, atau denga kata lain sekalipun sudah menjadi suami-isteri, mereka tetap memiliki status kewarganegaraan sendiri, sama halnya ketika mereka belum diikatkan menjadi suami-isteri.
Asas ini dapat menghindari terjadinya penyelundupan hukum. Misalnya, seseorang yang berkewarganegaraan asing ingin memperoleh status yang berkewarganegaraan asing ingin memperoleh status kewarganegaraan suatu negara dengan cara atau berpura-pura melakukan pernikahan dengan perempuan negara tersebut. Setelah melalui perkawinan dan orang tersebut memperoleh kewarganegaraan yang diinginkan.
B. UNSUR-UNSUR YANG MENENTUKAN KEWARGANEGARAAN
1. UNSUR DARAH KETURUNAN (IUS SANGUINIS)
Kewarganegaraan dari orang tua yang menurunkannya menentukan kewarganegaraan seseorang, artinya kalau orang dilahirkan dari orang tua yang berkewarganegaraan Indonesia, ia dengan sendirinya juga warga negara Indonesia. Prinsip ini berlaku di antaranya di Iggris, Amerika, Perancis, Jepang, dan juga Indonesia.
2. UNSUR DAERAH TEMPAT KELAHIRAN (IUS SOLI)
Daerah tempat kelahiran seseorang dilahirkan menentukan kewarganegaraan. Misalnya, kalau orang dilahirkan di dalam daerah hukum Indonesia, ia dengan sendirinya menjadi warga Indonesia. Prinsip ini berlaku di antaranya di Amerika, Inggris, Perancis, dan Indonesia.
3. UNSUR PEWARGANEGARAAN (NATURALISASI)
Walaupun tidak dapat memenuhi prinsip ius sanguinis ataupun ius soli, orang dapat juga memperoleh kewarganegaraan dengan jalan pewarganegaraaan atau naturalisasi. Syarat-syarat dan prosedur pewarganegaraan ini di berbagai negara sedikit-banyak dapat berlainan, menurut kebutuhan yang dibawakan oleh kondisi dan situasi negara masing-masing.
Dalam pewarganegaraan ini ada yang aktif ada pula yang pasif. Dalam pewarganegaraan aktif, seseorang dapat menggunakan hak opsi untuk memilih atau mengajukan kehendak menjadi warga negara dari suatu negara. Sedangkan dalam pewarganegaraan pasif, seseoarang yang tidak mau diwarganegarkan oleh suatu negara atau tidak mau diberi atau dijadikan warga negara suatu negara, maka yang bersangkutan dapat menggunakan hak repudiasi, yaitu hak untuk menolak pemberian kewarganegaraan tersebut (kartasapoetra. 1993: 216-7)
C. PROBLEM STATUS KEWARGANEGARAAN
Membicarakan status kewarganegaraan seseorang dalam negara, maka akan dibahas beberapa persoalan yang berkenaan dengan seseorang yang dinyatakan sebagai warga negara dan bukan warga negara dalam suatu negara. Jika diamati dan dianalisisis, di antara penduduk sebuah negara, ada diantara mereka yang bukan warga negara(orang asing) di negara tersebut. Dalam hal ini, dikenal dengan apatride, bipatride, dan multipetride.
Apatride merupakan istilah untuk orang-orang yang tidak mempunyai status kewarganegaraan. Sedangkan bipatride merupakan istilah yang digunakan untuk orang-orang yang memilki status kewarganegaraan rangkap atau dengan istilah lain dikenal dengan dwi- kewarganegaraan.

 Sementara yang dimaksud dengan multipatride adalah istilah yang digunakan untuk menyebutkan status kewarganegaraan seseorang yang memiliki dua atau lebih status kewarganegaraan.
Kasus orang-orang yang tidak memiliki status kewarganegaraan, merupakan sesuatu yang akan mempersulit orang tersebut dalam konteks menjadi penduduk pada suatu negara. Mereka akan dianggap sebagai orang asing, yang tentunya akan berlaku ketentuan-ketentuan peraturan atau perundang-undangan bagi orang asing, yang selain segala sesuatu kegiatannya akan terbatasi, juga setiap tahunnya diharuskan membayar sejumlah uang pendaftaran sebagai orang asing.
Status kewarganegaraan dengan kelompok bipatride, dalam realitas empiriknya, merupakan kelompok status hukum yang tidak baik, karena dapat mengacaukan keadaan kependudukan di antara dua negara, karena itulah tiap negara dalam menghadapi masalah bipatride dengan tegas mengharuskan orang-orang yang terlibat untuk secara tegas memilih salah satu di antara kedua kewarganegaraannya.
Kondisi sesoran dengan status berdwikewarganegaraan, sering terjadi pada penduduk yang tinggal di daerah perbatasan antaradua negara. Dalam hal ini, diperlukan peraturan yang pasti tentang perbatasan serta wilayah territorial, sehingga penduduk di daerah itu dapat meyakinkan dirinya termasuk ke dalam kewarganegaraan mana di antara dua negara tersebut.
D. KARATERISTIK WARGA NEGARA YANG DEMOKRAT
1. RASA HORMAT DAN TANGGUNG JAWAB
Sebgai warga negara yang demokratis, hendaknya memiliki rasa hormat terhadap sesama warga negara terutama dalam konteks adanya pluralitas masyarakat Indonesia yang terdiri dari berbagai etnis, suku, ras, keyakinan, agama, dan ideologi politik. Selain itu, sebgai warga negara yang democrat, seorang warga negara juga di tuntut untuk turut bertanggung jawab menjaga keharmonisan hubungan antar etnis serta keteraturan dan ketertiban negara yang berdiri di atas pluralitas tersebut.
2. BERSIKAP KRITIS
Warga negara yang demokrat hendaknya selalu bersikap kritis, baik terhadap kenyataan empiris(realitas social, budaya, dan politik) maupun terhadap kenyataan supra-empiris (agama, mitologi, kepercayaan). Sikap kritis juga harus ditujukan pada diri sendiri. Sikap kritis pada diri sendiri itu tentu disertai sikap kritis terhadap pendapat yang berbeda. Tentu saja sikap kritis ini harus didukung oleh sikap yang bertanggung jawab terhadap apa yang dikritisi.
3. MEMBUKA DISKUSI DAN DIALOG
Perbedaan pendapat dan pandangan serta perilaku merupakan realitas empirik yang pasti terjadi di tengah komunitas warga negara, apalagi di tengah komunitas masyarakat yang plural dan multi etnik. Untuk meminimalisasi konflik yang ditimbulkan dari perbedaan tersebut, maka membuka ruang untuk berdiskusi dan berdialog merupakan salah satu solusi yang bisa digunakan. Oleh karenanya, sikap membuka diri untuk dialog dan diskusi merupakan salah satu ciri sikap warga negara yang demokrat.
4.    BERSIKAP TERBUKA
        Sikap terbuka merupakan bentuk penghargaan terhadap kebebasan sesama manusia, termasuk rasa menghargai terhadap hal-hal yang tidak biasa atau baru serta pada hal-hal yang mungkin asing. Sikap terbuka yang didasarkan atas kesadaran akan pluralisme dan keterbatasan diri akan melahirkan kemampuan untuk menahan diri dan tidak secepatnya menjatuhkan penilaian dan pilihan.
5.    RASIONAL
        Bagi Negara yang demokrat, memiliki kemampuan untuk mengambil keputusan secara bebas dan rasional adalah sesuatu yang yang harus dilakukan.
Keputusan-keputusan yang diambil secara rasional akan mengantarkan sikap yang logis yang ditampilkan oleh warga negara sementara. Sikap dan keputusan yang diambil secara tidak rasional akan membawa implikasi emosional dan cenderung egois.
6.    ADIL
        Sebagai negara yang demokrat, tidak ada tujuan baik yang patut diwujudkan dengan cara-cara yang tidak adil. Penggunaan cara-cara yang tidak adil adalah bentuk pelanggaran hak asasi dari orang yang diperlakukan tidak adil. Dengan semangat keadilan, maka tujuan-tujuan bersama bukanlah suatu yang didiktekan tetapi ditawarkan.
7.    JUJUR
        Memiliki sikap dan sifat yang jujur bagi warga negara merupakan sesuatu yang niscaya. Kejujuran merupakan kunci bagi terciptanya keselarasan dan keharmonisan hubungan antar warga negara. Sikap jujur biasa diterapkan di segala sektor, baik politik, sosial dan sebagainya.
        Kejujuran politik adalah bahwa kesejahteraan warga negara merupakan tujuan yang ingin di capai, yaitu kesejahteraan dari masyarakat yang memilih para politisi. Ketidak jujuran politik adalah seorang poliotisi mencari keuntungan bagi dirinya sendiri atau mencari keuntungan bagi partainya. Karena partai itu penting bagi kedudukannya.
        Beberapa karakteristik warga negara yang demokrat tersebut, merupakan sikap dan sifat yang seharusnya melekat pada seorang warga negara. Sebagai warga negarayang otonom, ia mempunyai karesteritik lanjutan sebagai berikut:
    1.     Memiliki kemandirian.
    2.     Memiliki tanggung jawab.
    3.    Menghargai martabat manusia dan keharmonisan pribadi.
    4.    Berpartisipasi dalam urusan kemasyarakatan dengan pikiran sikap yang santun
    5.    Mendorong berfungsinya demokrat konstitusional yang sehat. Warga negara yang otonom harus melakukan tiga hal untuk mewujudkan demokrasi konstitusional yaitu :
        a.    Menciptakan kultur taat hukum yang sehat dan aktif (culture of law).
        b.    ikut mendorong proses pembuatan hukum yang aspiratif (process of law making)
        c.    mendukung pembuatan materi-materi hukum yang renponsif (content of law)
        d.    Ikut menciptakan aparat penegak hokum yang jujur dan bertanggung jawab (structure of law)
E.    Cara dan Bukti Memperoleh Kewarganegaraan Indonesia
            Pada umumnya ada dua kelompok warga negara dalam suatu negara, yakni warga negara yang memperoleh status kewarganegaraannya melalui stelsel pasif atau dikenal juga dengan warga negara by operation of law dan warga negara yang memperoleh status kewarganegaraannya melalui stelsel aktif dikenal dengan by registration.
            Dalam penjelasan umum Undang-undang No.62/1958 bahwa ada tujuh cara memperoleh kewarganegaraan Indonesia, yaitu (1) karena kelahiran. (2) karena pengangkatan. (3) karena dikabulkannya permohonan. (4) karena pewarganegaraan. (5) karena perkawinan. (6) karena turut ayah dan ibu serta (7) karena pernyataan.
            Untuk memperoleh status kewarganegaraan Indonesia, diperlukan bukti-bukti sebagai berikut (berdasarkan Undang-undang No.62/1958:

  1. Surat bukti kewarganegaraan untuk mereka yang memperoleh kewarganegaraan Indonesia karena kelahiran adalah dengan Akta Kelahiran.
  2. Surat bukti kewarganegaraan untuk mereka yang memperoleh kewarganegaraan Indonesia karena pengangkatan adalah Kutipan Pernyataan Sah Buku Catatan Pengangkatan Anak Asing dari peraturan pemerintah No.67/1958, sesuai dengan Surat Edaran Menteri Kehakiman No. JB.3/2/25. Butir 6. Tanggal 5 Januari 1959.
  3. Surat bukti kewarganegaraan untuk mereka yang memperoleh kewarganegaraan Indonesia karena dikabulkannya permohonan adalah Petikan Keputusan Presiden tentang permohonan tersebut (tanpa pengucapan sumpah dan janji setia).
  4. Surat bukti kewarganegaraan untuk mereka yang memperoleh kewarganegaraan Indonesia karena pewarga-negaraan adalah Petikan Keputusan Presiden.
  1. Surat bukti kewarganegaraan untuk mereka yang memperoleh kewarganegaraan Indonesia karena pernyataan adalah sebagaimana diatur dalam surat edaran menteri kehakiman No. JB.3/166/22, tanggal 30 September 1958 tentang memperoleh kehilangan kewarganegaraan Repoblik Indonesia dengan pernyataan.
F. HAK DAN KEWAJIBAN WARGA NEGARA
    Pengertian warga negara secara umum dinyatakan bahwa warga negara merupakan anggota negara yang mempunyai kedudukan khusus terhadap negaranya. Ia mempunyai hubungan hak dan kewajiban yang bersifat timbal balik terhadap negaranya. Berdasarkan pada pengertian tersebut, maka adanya hak dan kewajiban warga negara terhadap negaranya merupakan sesuatu yang niscaya ada.
    Dalam konteks Indonesia, hak warga negara terhadap negaranya telah diatur dalam Undang-undang Dasar 1945 dan berbagai peraturan lainnya. Di antara hak-hak warga negara yang dijamin dalam UUD adalah Hak Asasi Manusia yangrumusan lengkapnya tertuang dalam pasal 28 UUD Perubahan Kedua.
    Sedangkan contoh kewajiban yang melekat bagi setiap warga negara antara lain kewajiban membayar pajak sebagai kontrak utama antara negara dan warga, membela tanah air (pasal 27). Membela pertahanan dan keamanan (pasal 29). Menghormati hak asasi orang lain dan mematuhi perbatasan yang terutangg dalam peraturan (pasal 28), dan berbagai kewajiban lainnya dalam Undang-undang.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Warga negara diartikan dengan orang-orang sebagai bagian dari suatu penduduk yang menjadi unsur negara. Dalam menerapkan asas kewarganegaraan, dikenal dengan dua pedoman, yaitu asas kewarganegaraan berdasarkan kelahiran dan asas kewarganegaraan berdasarkan perkawinan. Dari sisi kelahiran, ada dua asas kewarganegaraan yang sering dijumpai, yaitu ius soli (tempat kelahiran) dan ius sanguinis (keturunan). Sedangkan dari sisi perkawinan dikenal pula asas kesatuan hukum dan asas persamaan derajat.
Unsur- unsur yang menentukan kewarganegaraan:
1.       Unsur darah keturunan (Ius Sanguinis);
2.       Unsur daerah tempat kelahiran (Ius Soli);
3.       Unsur pewarganegaraan (Naturaalisasi).
Karateristik warga negara yang demokrat:
1.       Rasa hormat dan tanggung jawab;
2.       Bersikap kritis;
3.       Membuka diskusi dan dialog;
4.       Bersikap terbuka;
5.       Rasional;
6.       Adil;
7.       Jujur.


B. SARAN
Sebagai warga negara yang baik kita harus mencintai dan menjaga kesatuan negara kita agar negara yang sangat kita cintai ini menjadi negara yang makmur dan sentosa seperti cita-cita dan tujuan bangsa kita yang tercantum dalam pembukaan UUD 1945.
DAFTAR RUJUKAN
Azed, Abdul Bari, Intisari Kuliah Masalah Kewarganegaraan, Jakarta: Ind-Hill. Co., 1996, Cet. Ke-1.
Budiarjo, Miriam, Dasar-dasar Ilmu Politik, Jakarta: Gramedia Pustaka Media, 1987.
Khairon, dkk, Pendidikan Politik Bagi Warganegara, Yogyakarta: LKIS, 1999.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar